Refleksi 38 Tahun Ratifikasi CEDAW, Gaungnya Masih Lemah di Kalimantan Selatan
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan atau CEDAW ditetapkan pada 1979 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia kemudian mengesahkan CEDAW melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan pada 24 Juli 1984. 38 tahun pasca pengesahan UU tersebut, diskursus mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan terus berkembang. Kita patut bersuka ria, pasalnya Indonesia sudah melakukan proses maju dalam menjalankan komitmennya terhadap penghapusan bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Misalnya, yang terbaru tertuang dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang mengatur mengenai kekerasan seksual yang mayoritas korbannya adalah perempuan.
Namun, jika kembali kita telaah dalam konteks Kalimantan Selatan, gaung mengenai CEDAW tidak banyak terdengar. Ini juga yang menjadi salah satu hal yang disoroti oleh Hapniah, Direktur Eksekutif Daerah PKBI Kalimantantan Selatan, "jangankan di LSM atau NGO, sepertinya banyak pihak pemerintahan sendiri yang belum mendengar mengenai CEDAW, gaungnya masih lemah, padahal ini adalah landasan."
Lalu, apa sebenarnya CEDAW itu? CEDAW merupakan akronim dari Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women. Ini adalah kesepakatan hak asasi internasional yang secara khusus mengatur hak-hak perempuan. Konvensi ini bicara juga mengenai penghapusan diskriminasi yang dialami oleh perempuan. CEDAW ditetapkan oleh sidang umum PBB pada 18 Desember 1979 dan mulai berlaku pada 3 September 1981.
Kalimantan Selatan sebagai salah satu provinsi di Indonesia juga memiliki mandat untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan di wilayahnya. Ini masih menjadi pekerjaan rumah yang besar mengingat kondisi politik dan budaya di Kalimantan Selatan yang masih kental dengan peminggiran terhadap perempuan. Ada beberapa aspek yang menjadi catatan dalam implementasi CEDAW di Kalimantan Selatan, yaitu
Kebebasan Perempuan dalam Berekspresi
Dalam laporan berjudul Aku Ingin Lari Jauh terbitan Maret 2021 oleh Human Rights Watch diketahui bahwa di Indonesia masih terdapat aturan diskriminatif yang tercermin dalam aturan busana. Aturan ini menyasar perempuan atau anak perempuan di sekolah negeri, kalangan pegawai sipil, dan di kantor pemerintahan. Kewajiban penggunaan jilbab bagi perempuan pada dasarnya adalah pembatasan terhadap hak perempuan untuk meyakini agama yang mereka pilih serta berekspresi. Pembatasan hak ini hanya bisa dilakukan dengan tujuan yang sah, diterapkan dengan cara yang tidak sewenang-wenang dan non-diskriminatif.
Jika melihat rujukan pada laporan tersebut, ada 2 aturan di Kalimantan Selatan yang masih mengatur cara berpakaian perempuan dengan mewajibkan penggunaan jilbab. Aturan tersebut adalah Surat Edaran Bupati No. 065.2/00023/ORG tentang Pemakaian Jilbab bagi PNS Perempuan di Kabupaten Banjar pada 2004. Aturan berikutnya adalah Surat Edaran Gubernur No. 065/01196/ORG Tahun 2005 tentang Tertib Berpakaian Dalam Jam Kerja (Penghubung Surat Edaran Gubernur No. 065/02292/ORG Tahun 2001 tentang Pemakaian Pakaian Seragam Dinas pada Jam Kerja di Provinsi Kalimantan Selatan).
Aturan mengenai kewajiban penggunaan jilbab juga pernah diberlakukan dalam pertandingan cabang olahraga dance sport pada Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) XI Kalimantan Selatan 2021 di Kandangan, Hulu Sungai Selatan (HSS). Aturan wajib jilbab ini menargetkan atlet dancer muslimah dengan alasan untuk menjaga norma etika pelaksanaan Porprov di Kandangan yang merupakan daerah religius.
Ajaran untuk mengenakan jilbab sebagai bagian dari pengajaran ajaran agama tertentu adalah satu hal. Namun pemaksaan penggunaan jilbab yang dilegitimasi melalui aturan tertulis adalah hal lain karena sudah menyangkut hak perempuan atas kebebasan beragama, berekspresi dan privasi.
Hak Anak dan Pernikahan Usia Anak
Sejak tahun 2019, Banjarmasin telah mendapatkan peringkat Kota Layak Anak di peringkat Madya. Predikat ini ditetapkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Tahun ini, kita patut bergembira karena Banjarmasin naik satu peringkat menjadi Kota Layak Anak peringkat Nindya, satu peringkat lagi menuju peringkat tertinggi yaitu Utama. Sementara itu, Kabupaten Banjar mendapatkan peringkat Kota Layak Anak peringkat Madya di tahun 2022 ini. Peringkat Kota Layak Anak didapatkan dengan menilai 5 indikator yaitu hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya; serta perlindungan khusus.
Namun, dibalik itu realitas mengenai pernikahan usia anak masih membayangi. Kalimantan Selatan sejak tahun 2015, berkali-kali meraih peringkat 1 sebagai provinsi dengan tingkat pernikahan anak tertinggi di Indonesia. Peringkat nomor 1 ini pernah diraih pada 2015, 2016, 2017, dan 2019. Meskipun UU Perkawinan telah direvisi dan meningkatkan usia miminal pernikahan dari 16 ke 19 tahun pada 2019, realita pernikahan anak masih menghantui. Salah satunya adalah karena didalam UU tersebut masih membuka celah terjadinya pernikahan usia anak melalui pemberian dispensasi.
Hapniah mengungkapkan, "di masa pandemi Covid-19 ini angka dispensasi pernikahaan anak justru meningkat 3 kali lipat." Pernikahan anak berkontribusi nyata pada peningkatan Angka Kematian Ibu (AKI), stunting dan kemiskinan juga cerminan ketidaksetaraan gender di Kalimantan Selatan. Pernikahan anak bukan saja merenggut hak-hak anak untuk bermain dan belajar tetapi ia juga menempatkan anak pada resiko kekerasan baik psikologis, ekonomi, fisik, maupun seksual.
Kebijakan Perlindungan terhadap Kelompok Rentan
Pasal 5 ayat (3) Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menyatakan bahwa, "setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya." Penjelasan dari pasal itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok rentan adalah orang lanjut usia (lansia), anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. UU ini tentu saja perlu diperbaharui dan diselaraskan terutama berkaitan dengan penyebutan penyandang cacat yang saat ini telah diganti dengan penyandang disabilitas.
Lebih dari itu, perlu juga adanya perluasan terhadap definisi kelompok rentan. Karena dalam kenyataan di masyarakat ada kelompok-kelompok yang rentan, mudah mendapatkan stigma dan bias negatif, terpinggirkan, tidak atau sulit terpenuhi hak-hak asasinya namun tidak masuk kedalam kelompok rentan versi UU HAM tersebut. Contoh dari kelompok-kelompok ini adalah kelompok minoritas gender seperti transpuan, kelompok ODHIV, kelompok penghayat kepercayaan dan minoritas agama lainnya. Didalam kelompok-kelompok tersebut tentu saja juga terdapat perempuan. Artinya jika dilihat dari kacamata interseksionalitas kerentanan perempuan yang berada pada kelompok-kelompok rentan tersebut menjadi berlapis. Ini juga tercermin dari pernyataan Hapniah, "diskriminasi yang dihadapi perempuan ODHIV dengan laki-laki itu lebih besar perempuan."
Pada akhirnya, 38 tahun sejak diratifikasinya CEDAW, Indonesia sudah mengalami banyak kemajuan, namun masih ada banyak sekali pekerjaan-pekerjaan rumah yang harus diselesaikan baik di Indonesia atau di provinsi Kalimantan Selatan sendiri. Terutama jika berkaitan dengan hak perempuan atas privasi, kebebasan berekspresi dan beragama, kasus-kasus pernikahan anak dan perlindungan terhadap kelompok rentan yang mengalami kerentanan berlapis.
Sumber gambar: coe.int
Komentar
Posting Komentar