Kenalkan HAM pada Kelompok Waria untuk Memutus Rantai Diskriminasi


 

Learning Culture bertema “Memutus Rantai Kekerasan pada Kelompok Waria dengan Pemahaman Akan Hukum dan HAM” diadakan oleh PKBI Daerah Kalimantan Selatan pada Rabu, 7 September 2020 di Ballroom Meridian 3 Hotel Nasa Banjarmasin mulai pukul 09.00 – 13.00. Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Inklusi, salah satu program yang diampu oleh PKBI Daerah Kalimantan Selatan yang menargetkan pemberdayaan kelompok terpinggirkan dalam hal ini transpuan khususnya di kota Banjarmasin. Menghadirkan 2 pemateri yaitu Bunda Resya, seorang waria yang menjadi tim Community Legal Service di OPSI Kalimantan Selatan dan Asmuni, Ketua Perkumpulan Pengacara dan Penasehat Hukum Indonesia (P3HI) DPD Kalimantan Selatan sekaligus ketua AH Law Firm Kalimantan Selatan. Acara ini diikuti oleh 20 peserta yang seluruhnya mendefinisikan diri sebagai waria.

Dibuka oleh Hapniah, Direktur Eksekutif Daerah (DED) PKBI Daerah Kalimantan Selatan, ia menyampaikan agar peserta dapat belajar dan berproses di salah satu sesi yang cukup serius ini. Kemudian, Rizki Febriani, Project Officer Program Inklusi mengambil alih untuk menjelaskan layanan yang bisa diakses oleh kelompok waria yang ditawarkan oleh PKBI Daerah Kalimantan Selatan sekaligus menjadi fasilitator untuk sesi-sesi berikutnya.

Materi pertama disampaikan oleh Bunda Resya yang membantu peserta mengidentifikasi jenis-jenis kekerasan yang kelompok transpuan sering terima. Kekerasan yang sering diadukan padanya beragam mulai dari kekerasan fisik, psikis, hingga ekonomi. “Ada kasus-kasus kaya waria yang kerja sebagai pekerja seks itu dibayar pakai uang palsu atau uang mainan,” jelasnya saat menjelaskan contoh kasus yang berkaitan dengan kekerasan ekonomi. Kekerasan lain yang sering dilaporkan padanya menurut Bunda Resya adalah kekerasan fisik yang pelakunya adalah pasangan mereka sendiri.

Kondisi waria yang rentan dan sering kali tidak diterima masyarakat membuat mereka enggan melaporkan kasus yang menimpa mereka. Sebagai paralegal komunitas, Bunda Resya biasanya hanya mencatat aduan kasus kekerasan yang masuk dan mengembalikan kepada penyintas apakah ingin melanjutkan sampai ke meja hijau atau tidak. “Biasanya kada wani pang, takutan kalau mau diproses ke langkah selanjutnya,” jelasnya.

Pemateri kedua, Asmuni, membawakan materi terkait dengan Hak Asasi Manusia. Ia menekankan bahwa semua orang terlahir dalam keadaan suci atau fitrah dan sejak lahir manusia memiliki hak-hak yang tidak bisa dipinjamkan, dipertukarkan atau dihilangkan. Hak-hak ini termasuk hak keamanan personal, hak untuk hidup, hak untuk berkumpul, dan lain sebagainya. Hak-hak yang melekat ini bersifat universal sehingga laki-laki, perempuan bahkan waria memilikinya.

Ia juga berkali-kali mengingatkan kepada peserta untuk jangan takut jika tidak bersalah dan jangan menyelesaikan permasalahan hukum di luar jalur hukum. Jika transpuan terciduk razia karena dianggap mengganggu ketertiban umum, mereka memiliki hak untuk membela diri, apalagi jika tidak sedang melakukan apa pun. Ia juga memperingatkan agar masalahnya tidak semakin meluas, waria perlu berhati-hati agar tidak membiasakan diri membawa senjata tajam atau obat-obatan terlarang (narkoba), sehingga jika sewaktu-waktu digeledah, perkaranya tidak menjadi semakin meluas menjadi kasus terkait sajam dan narkoba.

Sesi ini diwarnai dengan cerita-cerita pengalaman kekerasan yang pernah dialami oleh salah satu peserta waria dan pertanyaan-pertanyaan seputar hukum dan HAM dari kelompok waria yang pernah terjaring razia. Disela-sela kegiatan, peserta diajak untuk menari sebagai bagian dari ice breaking. Sesi ditutup dengan presentasi kelompok dari peserta dan foto bersama.

Komentar

Postingan Populer